Jumat, 26 Oktober 2012

Fatwa Ulama Seputar Wudhu


1. Mengucapkan 'Bismillah' Ketika Berwudhu di Toilet

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah-, anggota Al Lajnah Ad Daimah (komisi Fatwa di Saudi Arabia) ditanya, “Apa hukum atau pendapat terkuat mengenai ucapan basmalah saat (mulai) wudhu? Bagaimana kita mengucapkan basmalah sedangkan kita berwudhu di toilet?”

Jawab Syaikh hafizhohullah,

Mengucapkan bismillah saat wudhu telah disebutkan dalam beberapa hadits, walaupun haditsnya lemah. Akan tetapi, jalur-jalur yang ada saling menguatkan satu dan lainnya. Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah”.[2] Berdasarkan hadits ini, Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca ‘bismillah’ termasuk wajib wudhu (jika haditsnya shahih[3]). Artinya, jika ditinggalkan dengan sengaja, batal-lah wudhunya. Namun jika ditinggalkan karena lupa atau karena jahil (tidak tahu), maka wudhunya sah. Sedangkan, jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa mengucapkan ‘bismillah’ hanyalah sunnah. Jumhur menyatakan bahwa hukum mengucapkan ‘bismillah’ sebelum wudhu hanyalah sunnah, bukan wajib. Jumhur menganggap bahwa makna ‘لاَ وُضُوءَ’ (tidak ada wudhu) hanya menunjukkan penafian kesempurnaan, bukan menyatakan wudhunya tidak sah. Jumhur menafsirkan hadits seperti itu.

Sedangkan mengucapkan ‘bismillah’ di toilet yang tidak ada lagi tersisa najis, tempat tersebut hanyalah tempat menunaikan hajat, kemudian najis yang ada dibersihkan dengan air sehingga hilang dan tidak tersisa, maka hal ini tidak termasuk dalam istilah ‘الكُـنُـف والحُشوش’. Kedua istilah tersebut adalah untuk tempat yang masih terdapat najis dan tidak hilang.

Adapun untuk toilet yang ada saat ini, maka itu jelas berbeda. Najis yang ada yaitu kencing dan kotoran manusia pada toilet saat ini langsung bisa hilang setelah disiram dengan air, sehingga tidak tersisa apa-apa. Sehingga boleh saja mengucapkan ‘bismillah’ ketika wudhu meskipun di toilet. Na’am.

[Referensi: Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sholeh Al Fauzan, kaset pertama, side B. Lihat link: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=178141]

http://rumaysho.com/hukum-islam/thoharoh/3606-mengucapkan-bismillah-ketika-berwudhu-di-toilet.html

2. Mencium Isteri Tidak Membatalkan Wudhu???

Pertanyaan:
Suami saya selalu mencium saya bila akan berangkat ke luar rumah, bahkan bila hendak keluar menuju masjid. Terkadang, saya merasa dia mencium saya dalam kondisi bernafsu; apa hukum syariat mengenai status wudhunya?


Jawaban:
Dari Aisyah rodhiallaahu’anha bahwasanya Nabi sholallaahu’alaihi wasallam mencium salah seorang isteri beliau, kemudian keluar untuk melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi.

Hadits ini menjelaskan hukum tentang menyentuh wanita dan menciumnya (bagi suami-penj.); apakah membatalkan wudhu’ atau tidak? Para ulama rohimahullah berbeda pendapat mengenainya:

Ada pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu dalam kondisi apapun.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat, membatalkan wudhu dan jika tidak, maka tidak membatalkan.

Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak (sama sekali), dan inilah pendapat yang rajih (kuat).

Yang dimaksud, bahwa seorang suami bila mencium isterinya, menyentuh tangannya atau menggenggamnya sementara tidak menyebabkannya keluar mani dan dia belum berhadats maka wudhu‘-nya tidak rusak (batal) baik baginya ataupun bagi isterinya. Hal ini dikarenakan hukum asalnya adalah wudhu’ tetap berlaku seperti sedia kala hingga didapati dalil yang menyatakan bahwa wudhu’ tersebut sudah batal. Padahal tidak terdapat dalil, baik di dalam kitabullah maupun sunnah Rasulullah sholallaahu’alaihi wasallam yang menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu.

Maka berdasarkan hal ini, menyentuh wanita meskipun tanpa pelapis, dengan nafsu syahwat, menciumnya dan menggenggamnya; semua ini tidak membatalkan wudhu. Wallahu a’lam.

Kumpulan Fatwa-Fatwa Seputar Wanita dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 20.

Sumber:
Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Penerbit Darul Haq.
fatwaulama.wordpress.com/.../mencium-isteri-tidak-membatalkan-wudhu/

3. Hukum Wanita Menyentuh Aurat Anaknya

Pertanyaan: Apakah seorang wanita dalam keadaan berwudhu (suci) ketika membersihkan kemaluan anaknya yang masih kecil menyebabkan batal wudhunya, sedangkan anak tersebut mengeluarkan banyak kotoran?

Jawaban: Wanita dalam keadaan berwudhu yang menyentuh kemaluan anaknya (baik depan ataupun belakang) tanpa alas atau penghalang, maka batal wudhunya. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berwudhu bagi siapa yang menyentuh kemaluan. Wa billahi taufiq, wa shalallahu ‘ala nabiyyina wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
______________________

Sumber: Fatawa Lajnah Daaimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Saudi Arabia.
Diterjemahkan oleh Abu Unais, teks asli lihat di alifta.com.

https://fatawaulamaislam.wordpress.com/2012/05/11/hukum-wanita-yang-menyentuh-aurat-anaknya/


KUTEK


1.Pertanyaan: Apakah hukum wudlunya orang yang menggunakan kutek pada kuku-kukunya?

Jawab:
Sesungguhnya kutek itu tidak boleh dipergunakan wanita jika ia hendak sholat, karena kutek tersebut akan menghalangi mengalirnya air dalam bersuci (pada bagian kuku yang tertutup kutek tersebut), dan segala sesuatu yang menghalangi mengalirnya air (pada bagian tubuh yang harus dusucikan dalam berwudlu) tidak boleh dipergunakan oleh orang yang hendak berwudlu atau mandi (janabat), karena Allah Ta’ala berfirman:

{ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ } (6) سورة المائدة
“…maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku..” (QS. Al-Maidah: 6).

Jika wanita ini menggunakan kutek pada kukunya, maka hal itu akan menghalangi mengalirnya air hingga tidak dapat dipastikan bahwa ia telah mencuci tangannya, dengan demikian ia telah meninggalkan satu kewajiban di antara beberapa yang wajib dalam berwulu dan mandi.

Adapun bagi wanita yang tidak sholat, seperti wanita yang sedang mendapat haid, maka tidak ada dosa baginya jika ia menggunakan kutek tersebut, akan tetapi perlu diketahui bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah kebiasaan-kebiasaan wanita-wanita kafir, dan menggunakan kutek tersebut tidak diperbolehkan karena terdapat unsur menyerupai mereka.1)

2. Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyyah ditanya:”Diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang maksudnya:”Tidak sah wudlunya seseorang bila pada jari-jarinya terdapat adonan (sesuatu yang dicampur dengan air) atau tanah”. Walaupun demikian saya banyak melihat kaum wanita yang menggunakan inai (pacar) pada tangan atau kaki mereka, padahal inai yang mereka pergunakan itu adalah sesuatu yang dicampur dengan air dalam proses pembuatannya, kemudian para wanita itu melakukan sholat dengan mempergunakan inai tersebut, apakah hal itu diperbolehkan? Perlu diketahui bahwa para wanita itu mengatakan bahwa inai ini adalah suci, jika ada seseorang yang melarang mereka”.

Jawaban:
Berdasarkan yang telah kami ketahui bahwa tidak ada hadits yang bunyinya seperti demikian. Sedangkan inai (pacar) maka keberadaan warnanya pada kaki dan tangan tidak memberi pengaruh pada wudlu, karena warna inai tersebut tidak mengandung ketebalan/lapisan, lain halnya dengan adonan, kutek dan tanah yang memiliki ketebalan dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka wudlunya seseorang tidak sah dengan adanya ketebalan tersebut karena air tidak dapat menyentuh kulit. Namun, jika inai ini mengandung suatu zat yang menghalang air untuk sampai ke kulit, maka inai tersebut harus dihilangkan sebagaimana adonan. 2)

3. Pertanyaan:
Kami mendengar sebagian ulama mengatakan:’Dibolehkan bagi wanita untuk berwudlu tanpa harus menghilangkan kutek (cat kuku), bagaimana menurut Anda?

Jawaban:
Jika cat kuku itu memiliki bentuk di atas permukaan kuku, maka tidak boleh berwudlu tanpa menghilangkannya sebelum berwudlu. Sementara jika cat kuku itu tidak memiliki bentuk, maka diperbolehkan berwudlu tanpa harus menghilangkan cat kuku itu seperti halnya inai (pacar).3)

Catatan Kaki:
1) Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad Sholih Al-‘Utsaimin, 4/148. Disusun oleh: Fahd Sulaiman.
2) Majmu’ Fatawa Lajnah Ad-Daimah, 5/217.
3) Majmu’ Fatawa Lajnah Ad-Daimah, 5/218.

http://hanifatunnisaa.wordpress.com/2009/08/03/fatwa-fatwa-tentang-wudhu/